Ambulan Zig Zag : Paradoks Kemanusiaan Tentang Si Kaya dan Si Miskin
Terbayang jelas bagaimana binar wajah dan sorot tajam mata Iwan fals ketika memekikkan lirik sarkastik yang mengupas habis sebuah ironi tentang kesenjangan sekaligus ketimpangan sosial pada medio 80.
Selaras dengan rilisnya album Sarjana Muda (1981), tersemat pada urutan keenam, antrean track berdurasi tiga menit empat puluh satu detik. Dengan judul yang agak nyeni nan menggelitik, yakni “Ambulan Zig Zag”. Apa yang terbesit dalam benak ketika muncul nomor bertajuk “Ambulan Zig-Zag”? benarkah ambulan berpendar menjemput pasien dengan teknik samba ala tim Brazil atau malah ambulan tersebut dicat dengan aksen zig-zag melingkari tubuh mobil.
Namun, Iwan Fals tak sesederhana itu. “Ambulan Zig Zag” sebuah nomor spesial yang patut dijadikan sebuah epitome ketidakadilan antara si mampu dan si kekurangan, antara si bayar dimuka dan si nyicil. Sebuah narasi yang dibangun atas dasar keberpihakan fasilitas terhadap kaum borjuis kala itu–sekarang pun tak jauh beda–yang seolah menghardik para masyarakat kelas bawah. Pasien diposisikan bak sebuah lomba lari, semakin cepat membayar makan semakin cepat pula dilayani. Diskursus tentang marginalisasi yang nyata ketika terjadi pemisahan kelas berdasar dana yang digelontorkan (kalau bayar mahal ya di VVIP, tapi kalau setengah-setengah ya di bangsal flamboyan saja).
Ketimpangan atas dasar perbedaan kelas sosial
Di dalam ambulance tersebut/ Tergolek sosok tubuh gemuk/ Bergelimang perhiasan// Nyonya kaya pingsan/ Mendengar kabar/ Putranya kecelakaan// Dan para medis/ Berdatangan kerja cepat/ Lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa//.
Iwan fals menggambarkan lakon yang tampil dengan ciamik. Sebuah baris lirik menafsirkan adegan dalam latar kehidupan klinik tengah kota. Ketika pasien yang pandai bersolek dengan rentengan logam emas, tanpa banyak babibu dengan sigap para medis langsung mengambil alih. Namun, perlakuan berbeda terjadi ketika supir helicak menghantarkan penjual bensin eceran bergaun sarung, yang menderita luka api sebab pangkalan bensinnya meledak. Persoalan klise, yakni urusan administrasi seakan menabur garam pada bekas luka penjual bensin itu, semakin pedih dan perih.
Suster cantik datang/ Mau menanyakan/ Dia menanyakan data si korban/ Di jawab dengan/ Jerit kesakitan/ Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan//
Sebuah paradoks kemanusiaan yang nyata adanya. Kapitalisme seolah sudah semendarah daging itu, sehingga moral kemanusiaan tak lagi digubris. Sepantasnya fasilitas publik, terlebih lagi pada sektor kesehatan harus netral dalam melayani. Tak melulu yang berduit seolah lebih eksklusif. Seluruhnya secara gamblang direka ulang dalam bait lirik “Ambulan Zig-zag”.
Inklusivitas tak lebih dari sekadar kata
Tak lama berselang supir helicak datang// Masuk membawa korban yang berkain sarung/ Seluruh badannya melepuh/ Akibat pangkalan bensin ecerannya/ Meledak//
Seperti halnya mempertanyakan arti inklusivitas itu sendiri. Apakah benar adanya? apakah benar menyeluruh? apakah benar inklusif? Gamang-gamang tersebut seolah menyembul dari setiap pemikiran kritis Iwan Fals. Merajut kisah demi kisah yang mencitrakan tentang sekat pada setiap kelas masyarakat, ihwal yang nyata bahwasanya inklusivitas itu masih jarang dan belum merata.
Hai modar aku/ Hai modar aku/ Jerit si pasien merasa diremehkan//
Nada-nada melengking menyeru suara rintihan kaum proletar. Dipercantik dengan syahdu petikan dawai sang maestro. Ramuan yang menyenangkan untuk didengar, tetapi pedih tatkala diresapi. Akankah empat dekade pasca kemunculan lagu ini fenomena tersebut lantas surut? sudah barang tentu tidak. Tak sedikit kasus-kasus penolakan pasien atas dasar biaya yang tak mencukupi. Sudahkah bantuan kesehatan kepada kaum marginal diterima dan dipergunakan dengan baik? Heem, sudah barang tentu tidak!
…
Siapa yang menyangkal bahwa sosok yang kerap disapa bang Iwan, dengan umat militan Oi!-nya merupakan satu dari sekian jajaran penulis musik bahasa terbaik sepanjang masa. Jejak karya sang pengawi tak luntur dimakan zaman. Perangai lugas, merepresentatifkan kaum tertindas tak kabur terberai umur yang kian udzur. “Ambulan Zig Zag” menjadi satu buah karya untuk seluruhnya berefleksi akan hakikat inklusivitas itu sendiri. Mirisnya sebuah realita, dikotomi hak yang tumbuh subur di penjuru negeri, akan tetapi sebagian dari kita memilih untuk tutup mata dan nyaman dengan ketimpangan yang terjadi pada saudara sebangsa sendiri. Ketidakadilan, eksklusivitas, pemisahan dan hal-hal sejenis sejatinya akan selalu ada di berbagai zaman. Namun, tugas utama “manusia” hanya sebatas bijak dalam menjalani perannya sendiri. Dengan saling bahu membahu, saling tolong menolong dalam mengutuk ketidakadilan agar kian terkikis dan musnah. Senantiasa terjaga. Tabik!
Catatan : Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Edisi Khusus VII Mei 2023 LPM Kentingan UNS