“Charm” Clairo dalam Menuturkan Sekelumit Asmara 20-an

Dhiazwara Yusuf
3 min readSep 26, 2024

--

Charm (2024)

20 tahun, dan setelahnya. Dua dekade usia manusia tak luput dari sebuah fase yang penuh dengan kejutan dan ketidaksiapan. Romantisasi usia 20-an atas kehilangan, asmara, pengkhianatan, kebohongan, tangis, dan krisis identitas menjadi topik yang luruh dalam ragam rilisan musik dari lintas genre saat ini. Lanskap tersebut lantas ditangkap dengan apik oleh musisi perempuan asal Atlanta, di usianya tepat 25 tahun.

Claire Elizabeth Cottril, dalam moniker Clairo, membuat saya tertegun dengan produksi album ketiganya: Charm. Clairo melesatkan arsenal berupa letupan kisah asmara 20-an dalam sebelas nomor majestik. Bila kita membedah isi kepala Clairo, tak jauh berhubungan dengan bagaimana ia melihat hubungan sepasang dewasa muda yang mulai merasakan transisi dari semula komitmen dipenuhi keras kepala dan keangkuhan, menuju ke kematangan cara pandang dan menjalin ikatan. Dalam kenyataan pula Clairo “hanya” seorang dewasa muda yang menginjak usia pertengahan 20-an, tanpa kekasih (?), dan (kebetulan) menulis musik.

Tak berhenti disitu. Bagi saya, Charm adalah album yang lahir dari embrio musisi perempuan yang hidup di era serba kompleks dan substansial, dipatahkan dengan basis kerja musikal yang penuh gairah namun sederhana dan lugu. Charm adalah Clairo dalam wujud gugusan nada serta bait lirik yang hadir atas refleksi dirinya sendiri. Plusnya juga, Charm berhasil memuaskan ambisi telinga sebagian (besar) basis penggemarnya baik dari sejak Bubblegum atau “Bags” dan “Sofia”. Charm patut masuk ke dalam daftar putar favoritmu, atau sekadar menjadi musik latar akun Tiktok, guna menghiasi paruh akhir 2024 dengan penuh sedu sedan sekaligus keriaan.

Kesuksesan Charm juga tak ubah dari campur tangan Leon Michels, yang menahkodai dapur isian musik sebagai produser dalam mayoritas track. Clairo dan Leon mengeskalasi nada-nada jazzy dalam diorama yang kaya akan isian musik sintetis, trumpet, dan dentuman drum tempo lambat hingga sedang.

Dibuka dengan “Nomad” yang membawa kita mengetuk pintu kenikmatan melalui petikan gitar melodius memadati ruang-ruang birama. Dalam nomor ini Clairo seolah bersandar pada ketidakpastian berkat balasan cinta yang semu. Namun dibalik itu ia tumbuh sebagai pribadi tangguh yang berdamai atas luka dan dirinya sendiri. “I’d run the risk of losing everything/ Sell all my things, become nomadic/ I’d run the risk, and just in case, I might/Sell all my things and become the night/…./But I’d rather be alone than a stranger/ You’d come visit me late at night/ I’d rather wake up alone than be reminded/ Of how it was a dream this time.” Seluruhnya berpadu dengan kehangatan suara Clairo dalam menutur setiap nada dan larik yang mengawang di langit kepala.

“Second Nature.” Satu yang perlu diantisipasi. Clairo kembali membuktikan tajinya kali ini. “Second Nature” menjahit benang merah antara kisah kasih kandas dengan bebunyian ala soul yang meriah. Patahan nada pada bagian bridge merupakan eksplorasi yang ciamik. Serta sentuhan klarinet dalam beberapa momentum hadir dan menggelitik telinga.

“Juna” menjadi bagian esensial. Layaknya serpihan terakhir dari teka teki, “Juna” melengkapi Charm dengan dentuman bass yang menukik serta harmoni yang solid. Kali pertama telinga saya terkejut dengan keelokan Clairo meramu melodi. Kali kedua kepala tak segan untuk berdenyut selaras dengan ketukan. Setelahnya, tanpa sadar sekujur tubuh seolah menggeliat mengikuti alunan. Seperti “(You make me wanna) Go dancing/ (You make me wanna) Try on feminine/ (You make me wanna) Go buy a new dress/ (You make me wanna) Slip off a new dress.” Transisi antara lip trumpet dengan permainan trumpet asli juga menjadi sentuhan yang memanjakan telinga saya.

Perjalanan 20-an yang sejatinya hampir dirasakan seluruh insan, bergulir dengan indah dalam setiap bait. Berbeda dengan Immunity yang seolah menjurus pada penolakan dan ketidaksiapan, sedang Charm ini ia lebih berupaya membagikan cara lepas dari kekangan egoistis dengan hanyut dalam ketenangan. Ia tak lagi melihat permasalahan itu secara sporadis dan satu visi, namun lebih daripada multiperspektif dan menyeluruh. Untaian pergolakan yang terjalin pada Charm bak sebuah itinerari menjalani fase asmara dengan ceria dan funky.

Seperti termaktub dalam judul di atas, “Charm” Clairo dalam menuturkan sekelumit asmara 20-an berhasil memikat saya sejak “Nomad” hingga “Pier 4” dimainkan. Proses pendewasaan yang bukan lagi menjadi persoalan angan, tapi diwujudkan dalam bebunyian yang sopan sekaligus bait lirik yang menawan.

Senantiasa terjaga.

--

--

No responses yet