Geliat Mahasiswa : Serba-serbi Perkuliahan Tatap Muka, Pasca Dua Tahun Terkungkung dalam Belenggu Pandemi Corona
*ditulis untuk penugasan MARKA 2022
Dua tahun lamanya masyarakat berjibaku mencoba bertahan dalam kehidupan yang serba dibatasi. Belenggu masker dan sulitnya interaksi (terpaksa) dianggap menjadi hal yang lumrah. Ihwal tersebut lantaran virus yang membabi buta di awal tahun 2020 dan berhasil meluluhlantakkan segala aspek kehidupan. Dari kerugian materiil maupun psikologis pun tak terelakan. Begitu pula kehilangan keluarga, rekan, tenaga medis yang melayangkan nyawa musabab virus terkutuk ini.
Kendati demikian masa-masa terpuruk tersebut sudah berlalu. Kehidupan mulai berangsur pulih. Normal baru gencar dikumandangkan, sebagai tanda awal kebangkitan masyarakat dari badai virus corona. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai perubahan gaya hidup dari masyarakat. Terkhusus perubahan adaptasi baru mahasiswa setelah kembali digelarnya perkuliahan tatap muka. .
Selepas dari jeratan perkuliahan daring, yang menuntut mahasiswa terpaku pada layar gawainya selama seharian penuh, kini mahasiswa harus mulai merombak kebiasaan agar dapat beradaptasi. Pasalnya sejak akhir Agustus lalu, mulai diselenggarakan kembali perkuliahan luring atau secara tatap muka. Bagi penulis selaku mahasiswa angkatan 2021, ini merupakan kali pertama perkuliahan diselenggarakan secara langsung atau face to face dengan dosen. Dengan adanya hal tersebut, tentunya diperlukan berbagai adaptasi yang harus dilakukan agar perkuliahan dapat terlaksana dengan baik. Kaitannya dengan adaptasi, dalam feature ini akan mencoba mengulas apa saja bentuk perubahan dan culture shock yang harus dihadapi oleh mahasiswa terkhusus angkatan 2021.
Dukungan pemerintah dalam penyelenggaran kuliah luring
Perkuliahan luring yang kini sudah mulai berjalan sebulan lamanya, bukan tanpa campur tangan dari pemerintah. Sejak awal bulan Juli yang lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Dikti Ristek) telah melayangkan surat edaran perihal pelaksanaan perkuliahan tatap muka. Segala ketentuannya tercantum dalam Surat Edaran No 3 tahun 2022 tentang penyelenggaraan pembelajaran di perguruan tinggi di masa pandemi coronavirus disease COVID-19 tahun akademik 2022/2023 per tanggal 24 Juni 2022.
Terdapat tiga poin penting terkait penyelenggaran perkuliahan luring dalam surat edaran tersebut. Yang pertama yaitu, pembelajaran tatap muka dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dan/atau pembelajaran jarak jauh. Poin yang kedua, yaitu Perguruan tinggi yang berlokasi di daerah khusus menurut Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 160/P/2021 tentang Daerah Khusus Berdasarkan Kondisi Geografis, bisa menyelenggarakan pendidikan tatap muka secara penuh dengan kapasitas mahasiswa 100% (seratus persen). Dan poin terakhir ialah terkait dalam penyelenggaran perkuliahan tatap muka, Perguruan tinggi harus senantiasa memprioritaskan mengenai kesehatan seluruh bagian dari proses pembelajaran baik dosen, mahasiswa, staf, serta masyarakat sekitar.
Dengan munculnya surat edaran tersebut cukup memberikan angin segar bagi berbagai perguruan tinggi. Pasalnya di beberapa kampus merasa perkuliahan daring dirasa memang kurang efektif bagi dosen dan mahasiswa sendiri. Surat edaran tersebut juga membuktikan bahwasanya pemerintah memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan kuliah secara tatap muka, namun dengan syarat tetap mengindahkan protokol kesehatan agar program ini dapat terus berkesinambungan.
Perspektif mahasiswa perihal metode perkuliahan
Selama kurang lebih dua tahun mahasiswa harus mendapatkan pembelajaran jarak jauh dari dosen. Banyak yang mengalami perubahan. Baik dari gaya hidup, gaya belajar, dan cara menangkap ilmu dari masing-masing individu. Disisi lain cukup banyak juga polemik yang timbul disebabkan perkuliahan secara daring, terlepas dari adanya perubahan. Sebagai bahan studi kasus saya menggandeng dua teman seperjuangan, Rosy Aqila Ahmad dan Fahmi Hassan Subowo yang kini sedang bersama-sama menimba ilmu di kampus kesayangan kita, yakni Universitas Sebelas Maret jurusan Ilmu Komunikasi, untuk sekadar berbincang santai perihal kehidupan mahasiswa pasca pandemi.
Di wawancara yang pertama saya mencoba menggali lebih dalam mengenai perspektif dan cara pandang Rosy dalam menyikapi perkuliahan secara daring. Saya mencoba membuka pembicaraan dengan melempar pertanyaan pertama mengenai ia lebih condong terhadap perkuliahan yang dilaksanakan secara offline atau online?. Sontak Rosy menjawab pertanyaan tersebut dengan lugas, bahwa ia sepenuhnya memilih perkuliahan dilakukan secara luring atau tatap muka. Tak sampai disitu saja ia mencoba menjabarkan alasan yang mendasari dirinya kurang nyaman dengan perkuliahan daring. Alasan yang pertama yakni waktu perkuliahan yang tidak menentu dan terlalu flexible sehingga baik dari dirinya maupun kawan yang lain terkesan terlena dan menyepelekan perkuliahan tersebut. Disisi lain waktu perkuliahan yang berubah-ubah membuat schedule atau jadwal yang ia buat tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Alasan yang kedua yaitu perkuliahan yang dirasa kurang efektif dari segi pembelajaran. Rosy menerangkan bahwa tidak semua dosen dapat beradaptasi dengan teknologi, sehingga di beberapa perkuliahan terasa monoton dan kurang menarik. “Ya kalau ngga via meet cuman dikasih tugas lewat grup Whatsapp” imbuhnya. Pendapat tersebut menjembatani kepada alasan yang ketiga yakni baik dirinya maupun mahasiswa lain terkadang tergiur pada hal yang instan. Kadangkala beberapa dosen mengirim soft file sebelum memulai perkuliahan lewat meeting online. Dengan berbekal mengantongi soft file tersebut, Rosy merasa dirinya tidak memiliki dorongan untuk mengikuti perkuliahan online, atau mungkin sebatas join dalam room namun tidak melakukan interaksi layaknya perkuliahan pada umumnya. “Soft file-nya sudah dikirim duluan, jadi kita kayak ga punya dorongan atau motivasi buat kuliah gitu lo” tuturnya.
Perbincangan terus berlanjut kearah yang lebih intens. Saya kembali bertanya kepada Rosy perihal alasannya memilih perkuliahan secara tatap muka. Ia terdiam beberapa saat. Dan mulai menjawab bahwasanya perkuliahan idealnya dilakukan di kampus dan juga secara face to face dengan dosen, karena hakikatnya kampus adalah forum yang mewadahi kita mahasiswa untuk dapat menimba ilmu melalui kelas atau mata kuliah yang sudah dijadwalkan. Rosy juga menuturkan “Kayak kita itu ke kampus ada esensinya, selain itu perkuliahan akan terasa bervalue kalau kita bisa duduk di kelas dan berinteraksi layaknya atmosfer kuliah yang semestinya”. Saya setuju dengan pendapat Rosy jikalau mahasiswa juga perlu mendapatkan afeksi dari dosen berupa interaksi dan komunikasi secara interpersonal, agar ilmu yang disampaikan akan lebih mudah dicerna.
Culture shock di awal masuk perkuliahan tatap muka
Pertanyaan ketiga pun saya lontarkan. Apakah di awal perkuliahan tatap muka ini membuat Rosy cukup merasakan adanya culture shock karena transisi dari perkuliahan daring?. Ia kembali terdiam sejenak, dan merenungkan pertanyaan saya. Sampai akhirnya ia kembali ke obrolan, dan menuturkan jikalau yang terbesit dalam benaknya baru ada satu culture shock yang mesti dihadapi disebabkan adanya transisi ini. Yakni ketika ia merasa perkuliahan yang ada di prodinya belum sepenuhnya offline. Masih ada beberapa mata kuliah yang dilaksanakan via aplikasi meeting online. “Aku kayak masih mempertanyakan kenapa ga semua mata kuliah dijadikan offline aja, toh juga udah diberi kebebasan dari pusat untuk menyelenggarakan kuliah tatap muka. Kalo beberapa masih online aku kadang bingung harus kuliah online di kampus atau di kost, pernah sekali aku kuliah online di kost malah absensi mata kuliah yang selanjutnya jadi riweuh dan harus buru buru ke kampus” tutur mahasiswa komunikasi tersebut.
Berbeda dengan Rosy, di wawancara yang kedua saya bersama teman yang kerap disapa Fahmi. Fahmi menuturkan bahwasanya ia punya cara tersendiri untuk menangkal terjadinya culture shock. Mahasiswa Komunikasi yang berasal dari Kebumen ini telah menyiapkan diri sebelum ada masa transisi dari perkuliahan daring menuju luring. Dirinya mencoba merangkum berbagai informasi seputar perkuliahan luring yang dirinya dapat baik dari kating maupun dosen dan nantinya ia kurasi sebagai bekal sebelum masuk perkuliahan. Informasi tersebut perihal metode pembelajaran, pergaulan, dan, cara berinteraksi baik dengan dosen maupun mahasiswa lain ketika perkuliahan tatap muka berlangsung. “Sederhananya aku udah well prepared sebelum masuk ke perkuliahan, jadi aku mencoba untuk menyiapkan ekspektasi kalau pembelajaran di kuliah tatap muka memang jauh berbeda dari kuliah daring apalagi pembelajaran waktu sma.” ujar Fahmi via telepon Whatsapp.
Tuntutan untuk beradaptasi
Dalam menyikapi adanya culture shock tersebut Rosy melakukan berbagai adaptasi agar mampu bertahan di bangku perkuliahan. Yang pertama tentunya ia harus mencoba beradaptasi dengan model pembelajaran secara offline. Dimana kita sebagai mahasiswa dituntut untuk lebih melakukan interaksi verbal maupun non verbal kepada dosen dan kawan mahasiswa lainnya. Selain itu berbeda dengan kuliah online yang lebih flexibel dan kadang jadwal mudah berubah-ubah, di kuliah tatap muka ini perkuliahan lebih runtut dan terjadwal. Sehingga hal tersebut mempermudah Rosy untuk membuat dan melaksanakan schedule atau jadwal harian yang di awal tadi akan sulit ketika perkuliahan masih dilakukan secara daring. “Selain jadwalku bisa terlaksana semua, aku juga dimudahkan untuk berinteraksi sama teman-teman baik yang udah kenal maupun yang baru datang dari luar daerah, soalnya aku kayak lebih prefer, interaksi in person gitu” tambahnya.
Sedangkan Fahmi juga punya metode sendiri dalam beradaptasi ketika kuliah tatap muka berlangsung. Berbeda dengan kuliah daring yang masih bisa dibuat multitasking, atau sambil mengerjakan hal yang lain, namun ketika kuliah tatap muka dirinya dituntut untuk tepat waktu dan tidak berleha-leha. Sehingga dirinya harus pintar-pintar dalam membagi waktu antara akademis dan bergaul.
Menjalankan kebiasaan baru, dan menanggalkan yang lama
Pandemi sudah mereda. Kita sudah bersama-sama berjuang dan bertahan dari badai, dengan mencoba berdamai dengan kehilangan. Baik kehilangan harta maupun kerabat keluarga. Sendi-sendi masyarakat kembali dibangun. Pun mahasiswa kembali ke habitat asalnya, yakni perguruan tinggi. Tempat dimana lingkungan dibentuk untuk mereka dapat menimba ilmu, membangun relasi, dan mencurahkan segala pola pikir tanpa adanya penghakiman. Segala medium pendidikan yang serba jarak jauh kini berangsur kembali ke arah tatap muka. Peran serta dari lingkungan yang terus menjaga protokol kesehatan dan mengikuti vaksinasi covid-19 turut membantu kembali digelarnya proses perkuliahan tatap muka tersebut.
Sebagai agen perubahan, kini para mahasiswa mengemban tugas untuk beramai-ramai menyongsong kebangkitan bangsa. Dengan berusaha membersamai masyarakat untuk membangun kehidupan pasca pandemi, baik dari segi mental maupun inovasi atau pemikiran yang mengarah pada perubahan. Biarlah pandemi yang telah berlalu menjadi sejarah hidup bangsa, dan akan terus hidup dalam benak masyarakat sebagai sebuah pembelajaran agar dapat terus menumbuhkan rasa nasionalisme dalam jiwa. Dengan berlalunya pandemi, pun berlalu juga kebiasaan buruk di masa lampau. Mahasiswa harus dapat beradaptasi dengan atmosfer perkuliahan yang baru. Yang semula hanya bersantai-santai, kuliah ditinggal tidur, titip absen, jarang mengerjakan tugas, sudah seharusnya kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut hilang bersama sirnanya pandemi. Akhir kata, rahayu.