‘jatuh tempo

Dhiazwara Yusuf
2 min readJan 18, 2024

--

Dicky Satriawan Rahardi/LPM Kentingan

Yogya tak jauh berbeda. Kota yang padu dengan gemuruh rel dan desakan pundak purnawaktu. Gerbong-gerbong konstan itu turut berderik. Menagih letupan rindu yang sudah jatuh tempo. “Livin la vida loca,” pekik kondektur sambil merunut lajur.

Seperti dendam rindu harus dibayar pulas. Bukan soal halaman-halaman novel yang kauanggap sial. Bukan pula celetukan murah menyiasati gusar. Americano terjerembab di hadapan tegas gincu merah jambu. Jangan salahkan Dosa, kota, kenangan yang menyeruak di keterbatasan bahasa(n). Kopi susu, fill in blue

Periksa lagi surat kaleng yang mulai usang. Narasi jemawa dari tandusnya ruang bercinta. Pugaran kegelisahan dari lingkar keterikatan junta smansa. Semburat eksistensimu mendekap malam yang pesat di peremperan kedokteran hewan. Lengkap, lekat.

Yang kau terlewat. Aku mengais residu dari secercah ingatan garis bibirmu. Sukarela menjadi bulan-bulanan sorot lampu sayidan. Lanskap pijar ceria yang menakar putus asa di tengah gaduh sumpit yang beradu. Menjumput kepastian di seronok mi godog Pak Anto. Paripurna.

Setidaknya kabar-kabar tentang pisah ranjang dan adu gagasan itu dapat kupastikan. Bunga tidur yang bergeliat itu kini tak lagi tercekat. Lagi lagi asu. Asu bukan sembarang aku. Asu yang sama yang kita bawa lima tahun lalu. Asu yang kita janjikan. Asu yang menyalak dalam bait guyonan.

Ah, Yogyakarta… Kadaluarsa.

(Yogyakarta, 2024)

itinerari

Seharian bertafakur buah impulsif jerembab ketidakpastian yang masif. Buntut urang yang tak dikondisikan merintis jalan pulang. Aku turut mengitari poros kesusastraan ala Mahmoud Darwish cabang Gondomanan. Menjumput kaleng Khong Guan suguhan Jokpin Jogja. Jogja yang seyogyanya manis. Dengan p(em)ilu yang diromantisasi di bawah gidik aspal Jalan Suroto. Kenalan, dong, sama Adrianne Lenker. Not a lot, just forever. Headset Samsung bernada parau jadi bebunyian nyeri sepanjang perjalanan. Perjalanan mencari kitab asem kencur bersama occur. Byuh. Apalagi itu yang Mitski. Katanya dia my love mine all mine. Ya all mine, your love dijual terpisah.

(Yogyakarta, 2024)

Simple notes for ancient broken students

Kota yang asu bukan kepalang. Mengitari riak-riak selaput kekuningan di atas keningmu. Menjadi aku dan kita adalah niscaya yang tertunda. Bukan lagi perihal pashmina kastanye dan garis bibir yang melebar. Nafsu berjelaga dengan kedua mata telanjang di pusaran Taman Sari. Kesumatku melaju di bawah ketakutan brotowali.

Yang kau banggakan. Sudut-sudut kota dengan pelicinnya di bawah sekat gerobak biru. Kanebo Pak Dibyo yang kau andalkan tak lagi mengeringkan tetesan gusar di tengah Beringharjo. Apa yang Tumini lakukan adalah sehat. Mencampur populis dalam suwir ayam yang meregang di atas sumpit itu.

Bukan semata femme fatale atau pikatan ala kembang desa sebelah. Adalah aku yang kalut. Hingga mengambil peran yang telah tanggal. Barangkali jadi selanjutnya. Mengamini seterusnya. Ah, Yogyakarta. Jadikan.

(Surakarta, 2023)

Catatan : Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di saluransebelas.com

--

--

No responses yet