Dhiazwara Yusuf
4 min readSep 5, 2023

Lika-liku Penyelenggaraan Konser Musik Pasca Pandemi

18 Desember 2022

Penyelenggara event atau event organizer sejatinya merupakan satu dari sekian lini yang terdampak cukup besar berkat adanya pandemi. Tak sedikit pekerja event yang berjibaku bertahan, hingga banting setir guna mencari pendapatan dari sektor lain. Bagaimana tidak? sektor yang membutuhkan adanya kerumunan massa agar dapat hidup itu, seolah dimatikan dengan berbagai aturan pembatasan yang diinisiasi oleh pemerintah sendiri. Puluhan event sempat batal digelar, di awal kemunculan pandemi terkutuk tersebut.

Kendati demikian, masa-masa terpuruk tersebut sudah berlalu. Kehidupan mulai berangsur pulih. Normal baru gencar dikumandangkan, sebagai tanda awal kebangkitan masyarakat dari badai virus corona. Pun, berbagai event kembali aktif digelar dengan intensitas yang cukup besar. Jumlah pembatasan kerumunan tidak lagi se-saklek dahulu.

Terkhusus event musik. Dalam kurun waktu satu semester ini setelah meredanya pandemi, banyak sekali bermunculan event musik dengan adaptasi baru untuk konsumsi khalayak. Idiom “seperti dendam rindu harus dibayar tuntas” lantas di amalkan oleh para promotor (penyelenggara event) dan para penganut gigs. Luapan rindu terhadap euforia gigs musik tersebut dibayar lunas dengan puluhan pagelaran musik yang menyambut hangat para pecinta event. Rentetan acara dari minggu ke minggu, hari ke hari, seolah menantang para gigs-holic agar dapat menyisihkan waktu, uang, dan energinya untuk dapat hadir di setiap event tersebut.

Namun, semakin masifnya event musik yang beredar (terkhusus di Indonesia sendiri) tentunya tak hanya berdampak baik. Tak sedikit polemik yang muncul disebabkan kegagapan pasca dua tahun vakum dari segala bentuk acara offline. Maka dari itu, urgensi untuk beradaptasi menjadi ihwal yang harus gencar dicanangkan kepada segala unsur event musik, dari pekerja belakang panggung, band penghibur, penikmat musik, bahkan instansi Kepolisian juga harus terlibat aktif dalam keberhasilan campaign ini.

#Banyaknya Kasus Promotor Konser Problematik

Siapa sangka tiket penjualan konser tunggal Sheila On 7 ludes hanya dalam kurun waktu hitungan menit, siapa juga yang mengira Neckdeep bakal tampil di Yogyakarta. Disusul pula dengan kesuksesan konser akbar seperti Synchronize fest, Soundrenaline, We the fest, dan Joyland fest. Rentetan konser musik tersebut sudah cukup membuktikan bahwasanya antusiasme khalayak pencinta konser di Indonesia sudah sangat besar.

Ini seringkali dimanfaatkan oleh promotor baru dan kurang berpengalaman untuk mencari peluang terhadap animo publik yang mendambakan euforia konser musik. Hal ini berdampak dengan banyaknya event-event yang batal digelar. Ini merupakan salah satu dampak transisi dari konser online ke offline. Ketika para promotor mulai nyaman dengan pengadaan event via online atau live stream, kini muncul kembali ke permukaan event-event offline. Event online pun mulai ditinggalkan, maka secara tidak langsung promotor yang mulai nyaman tersebut, seolah-olah dipaksa mengikuti derasnya permintaan konsumen untuk penyelenggaraan konser musik secara langsung atau tatap muka.

Ketika event tersebut diselenggarakan oleh promotor yang sebatas gagap atau FOMO (Fear Of Missing Out) terhadap tren konser musik offline, maka mulailah timbul permasalahan kurangnya kompetensi untuk mengemban tanggung jawab besar tersebut. Ujung-ujungnya refund tiket dan pembatalan konser secara sepihak bertebaran. Contoh kasusnya yakni, Berdendang bergoyang. Konser musik problematik ini baru hangat-hangatnya diperbincangkan oleh kalangan pegiat musik.

Berdendang bergoyang konser musik yang sempat menggegerkan kancah konser musik negeri karena banyaknya permasalahan internal maupun external. Pertanda ketidakjelasan ini sebenarnya sudah terlihat sejak hari pertama dan hari kedua, yakni banyaknya penampil atau band yang tidak sesuai rundown. Buntut ketidakjelasan tersebut berakhir dengan pembatalan konser di hari ketiga. Pembatalan tersebut dilakukan oleh kepolisian setempat, karena disinyalir terdapat ketidaksesuaian izin acara dan fakta di lapangan. Izin yang tertera dan disetujui pihak kepolisian yakni sekitar 3000 pengunjung, namun kenyataanya di hari pertama saja penonton membludak hingga 20000 orang.

Polisi mensinyalir terdapat unsur kesengajaan dari pihak EO untuk mencetak jumlah tiket yang melebihi batas maksimal. Selain rusuhnya konser yang disebabkan penonton membludak, terdapat pula permasalahan di lini kurangnya perhatian terhadap keselamatan penonton. EO sebatas menyediakan satu tenda keselamatan dengan praktisi kesehatan berjumlah hanya 5 orang. Ini sangat tidak sebanding dengan jumlah penonton yang hadir.

#Minimnya Kesadaran Tertib Membuang Sampah dalam Konser

Konser Heads In The Cloud (HITC) di Community Park PIK 2, Jakarta Utara sempat mendapatkan beberapa kritik pedas dari netizen Twitter (3/12). Kritik tersebut dikarenakan penumpukan lautan sampah di venue pasca hari pertama konser. Mayoritas tumpukan sampah tersebut yakni berupa sampah mantel plastik, yang dikenakan para penonton ketika dilanda hujan sewaktu konser berjalan. Namun akhirnya, di hari kedua konser penumpukan sampah mulai mereda.

Berkaca dari konser HITC Jakarta urgensi membuang sampah pada tempatnya, selalu menjadi praktik yang cukup sulit diterapkan di berbagai bentuk ekosistem acara. Sepertihalnya konser musik, gelaran yang dihadiri oleh orang-orang terpelajar dan berintegritas lantas tak menjamin venue konser akan terus bersih dari awal hingga akhir acara. Banyak bukti konkrit masih minimnya kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya di konser besar sekali pun.

“Loh kan kita udah bayar? nanti tugasnya tukang sampah ngapain dong?”, seringkali pernyataan ini muncul sebagai bentuk pembelaan atas dasar mencari pembenaran di atas kesalahan yang jelas-jelas nyata. Seolah ketika seseorang sudah memberikan segelintir uangnya untuk membeli tiket, ia terbebas dari keharusan membuang sampah pada tempatnya. Sangat-sangat tidak bijaksana apabila hal tersebut dilakukan oleh pribadi yang berpendidikan dan open minded.

Namun penonton tak sepenuhnya bersalah. Seharusnya dari pihak penyelenggara sendiri juga memberi sanksi represif terhadap pelaku atau pelanggar ketentuan buang sampah sembarangan tersebut. Disisi lain, apabila ditanyakan solusi yang tepat terhadap permasalahan ini, maka pandangan penulis yakni dari penyelenggara sendiri juga memberikan anjuran disertai wadah pembuangan sampah yang mumpuni dan aturan yang tegas tadi diawal. Sedangkan dari sisi penonton, harus mulai menumbuhkan sikap dan mindset untuk selalu membuang sampah di tempatnya. Yang pasti dan utama yakni diperlukan komunikasi dua arah dari penonton dan penyelenggara.

Dua contoh kasus di atas sejatinya belum dapat merepresentasikan keseluruhan permasalahan di lini konser musik, seperti halnya masih ditemukan kasus kejahatan seksual terhadap kaum wanita, mahalnya harga tiket, dan berbagai fasilitas konser yang tak sebanding. Maka dari itu dari dua permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwasanya lingkungan konser musik pasca pandemi ini harus terus berbenah, agar dapat timbul ekosistem yang saling menguntungkan di dalamnya. Baik dari segi promotor harus memberikan fasilitas dan jaminan yang sepadan dengan tiket yang dibayar penonton. Sedangkan dari segi penonton sendiri juga pandai-pandai memilih sebuah konser, jangan hanya tergiur oleh line up band yang menarik, namun mengesampingkan kredibilitas penyelenggara.

*Ditulis untuk memenuhi penugasan UAS Penulisan Kreatif 2022

No responses yet