Memorandum : Sebelas Lagu, Sebelas Cerita, dan Sebelas Persepsi

Dhiazwara Yusuf
5 min readDec 30, 2022

--

Sumber foto : https://www.instagram.com/p/Ca7noCVP64H/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

Sepanjang 2022, geliat skena indie rock tanah air seakan terbangun dari mati suri pasca berjibaku bertahan dari keterpurukan pandemi. Idiom ‘seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas’, seraya diamalkan oleh banyak grup musik guna melunasi hutang rindu dengan para penggemar. Panggung-panggung gigs mulai ramai berjejalan. Penjualan tiket konser kembali laku keras. Pun tak sedikit jajaran band lokal yang dengan meriah meluncurkan materi-materi teranyarnya. Seperti halnya diamini oleh Perunggu, yang sepanjang tahun tak henti-henti mendapat apresiasi, atas kehadiran Memorandum.

11/10. Ini nilai yang dilontarkan Maul Ibrahim, sebagai ungkapan kepuasan batin atas dasar lahirnya album perdana Perunggu, Memorandum. Rasa-rasanya tak berlebihan apabila Maul jumawa akan hal ini. Pasalnya dengan segala bentuk jerih payah dan konsistensi, Perunggu berhasil mendedahkan album yang layak diberi sorotan dari segala sisi. Baik dari segi penulisan, racikan musik, dan proses kreatif.

Tak basa-basi. Perunggu mencoba mencandra berbagai realitas sosial, dalam wujud gugusan lirik yang padat dan lugas. Setiap lirik yang direka Perunggu, berangkat dari lika-liku hidup yang berhasil membawa mereka di titik pendewasaan. Sebelum menelisik lebih dalam, alangkah baiknya saya perkenalkan Perunggu, band yang akhir-akhir ini akrab tampil di linimasa.

“Band rock pulang kantor” sebuah moniker yang tersemat pada trio bapak-bapak ini. Trio yang dipunggawai Maulana Malik Ibrahim sebagai vokal-gitar, Muhammad Faisal Adam Adenan sebagai bassis, dan yang terakhir Ildo Reynardian Hasman sebagai penabuh drum. Dengan pengalaman hidup masing-masing personilnya, mereka mencoba mengejawantahkan kegetiran hidup sebagai pekerja urban dan berhasil menorehkan sebelas track lagu yang dirangkum dalam satu album utuh, Memorandum.

Memorandum sendiri secara harfiah, berarti sebagai pengingat atau catatan. Kaitannya dengan Perunggu, yang menjadikan album Memorandum sebagai sebuah catatan yang sarat akan kisah dari tiga kehidupan dalam peran sebagai seorang ayah, suami, pekerja, dan pemusik.

Perunggu dalam menghayati realitas sosial

Sebelas lagu, sebelas cerita, dan sebelas persepsi. Memorandum diawali dengan lagu yang bertajuk “Tarung Bebas”. Layaknya alarm di pagi hari, Perunggu mencoba menghentak khalayak untuk terbangun lewat “Tarung bebas”. Penulisan lirik yang lugas, dengan aransemen lagu yang dipenuhi kebisingan, lengkap beserta balutan lirik yang emosional. Seraya menghantam, penempatan “Tarung bebas” di permulaan album menjadi pilihan yang cerdas bagi Perunggu guna memompa antusiasme khalayak pendengar.

Track selanjutnya yakni “Canggih!”. Perunggu secara gamblang mencoba menceritakan makna “musik” bagi diri mereka. Tentang pengalaman batin perihal kehidupan bermusik masing-masing personil. Seluruhnya padu diracik dalam “Canggih!”.

Gayung bersambut di dapuk menempati nomor ketiga yakni “Pastikan Riuh Akhiri Malammu”, yang biasa ditulis Perunggu dalam setlist tatkala manggung dengan akronim P.R.A.M. Satu nomor favorit saya, tepatnya pada bagian pre-chorus lagu ini, /Silih berganti ruang kau penuhi/ Ku perlu hadir di semua yang kau tangisi/ Panggil aku kapanpun ku temani/ Pastikan riuh akhiri malammu lagi/. Perunggu mencoba menjabarkan sisi kehidupan mereka sebagai seorang ayah. Tentang bagaimana perasaan seorang bapak setelah sembilan bulan menanti kehadiran buah hatinya. Tangisan yang selalu menjadi nada favorit ketika sepulang kerja. Waktu luang yang berusaha dicari di sela kesibukan kantor melanda. Dan berbagai lelah sebab hiruk pikuk dunia korporat yang dapat terobati dengan gelak tawa ceria anak-anaknya.

“Membelah belantara”. Berbeda dengan P.R.A.M, di lagu keempat ini Perunggu mencoba menghadirkan unsur perlawanan terhadap pola kehidupan politik domestik yang usang dan sudah tak relevan. Seluruhnya tersaji di lagu “Membelah belantara”. Perunggu secara tersirat mengutarakan, bahwa perlu adanya perubahan dari skala yang terkecil agar kehidupan politik yang memuakkan dapat musnah dan tergerus. Seperti halnya sepenggal lirik yang mereka tulis, /Pelan, tertatih/ Bawaku keluar dari sini/ Tradisi tak selamanya berisi/ Bersama bangunkan semua ambisi/ Melawan tanpa mencabik/.

“Haru Paling Biru”. Berdamai dengan kesedihan, mungkin ini frasa yang paling cocok untuk menggambarkan setiap bait lirik pada “Haru Paling Biru”. Layaknya oase di tengah gurun pasir, lagu ini menjadi obat bagi pribadi-pribadi yang belum dapat beranjak dari luka di masa lalu. Dengan mengingatkan untuk menambal segala kepedihan, menjahit segala luka, dan menanggalkan segala gundah. Tak perlu bersikap keras pada diri sendiri. Jadikan kesedihan sebagai pembelajaran, lekas beranjak, dan lanjutkan hidup. Karena kehidupan tak menunggu untuk dirimu sudah pulih atau masih tertatih perih.

“Ini Abadi”. Lantunan merdu dari Maul, diiringi musik latar berupa permainan piano oleh Adam, turut andil dalam kehangatan lagu ini. Tentang bentangan jarak dengan yang terkasih dan menjadi biduk persoalan yang terdengar klise. Namun bagi mereka yang benar merasakan, setidaknya lagu ini dapat menggugurkan sisi rapuh yang mengendap berkat rindu yang tak kunjung tuntas tersebut.

Selanjutnya ada “Biang Lara”. “Biang lara” sendiri merupakan plesetan kata dari bianglala. Berisi tentang bentuk perayaan atas menikmati sebuah kelelahan. Layaknya bianglala, Perunggu berpesan agar hidup tak selalu harus berpusat pada diri sendiri, terkadang mencoba untuk berada di sisi terluar dan mengikuti arus juga diperlukan.

“Per hari ini”. Lagu ini patut dinobatkan sebagai anthem bagi para pekerja kantoran. Rentetan lirik yang mengisahkan perihal hiruk pikuk menjadi pekerja kerah putih. Seolah-olah kehidupan mereka terpaku pada agenda hidup yang serba runtut dan senantiasa terkungkung di dalamnya. Perunggu sukses merefleksikan kisah tersebut dalam gubahan lagu ini.

“Kalibata, 2012”. Perunggu kembali memberi siasat tentang cara menyikapi kehilangan. Bagaimana kehilangan orang terdekat menjadi momok yang terus menghantui hidup. Seribu memori akan orang tersebut kembali terlintas, hanya perihal nama yang muncul di tengah perbincangan sederhana. Diantara takbir/ Pejam mataku sebutkan namamu hadir/ Muncul rangkaian ribuan cerita penting/ Yang kuinginkan kau ada dalam abadi/ Semua jalur hidupku berubah dini hari itu/ .

“Prematur”. Kali ini Perunggu menggandeng vokalis wanita dengan suara sendu nan hangat yakni Hara (Rara Sekar) guna memberikan nyawa di setiap penggalan lirik “Prematur”. Lagu ini berkisah perihal perubahan dalam diri menjadi hal yang krusial. Tentang keinginan yang kadangkala tak dapat terpenuhi. Menciptakan gebrakan dalam diri, agar berani melangkah dan maju.

“33x”. Bagai sebuah kesimpulan. 33x menjadi sebuah pungkasan yang layak disertakan bagi sebuah album seindah Memorandum. Tentang menjadi memo atau pengingat baik untuk Perunggu sendiri maupun para pendengar. Sebutlah namaNya/ Tetap di jalanNya/ Kelak kau mengingat/ Kau akan teringat/, Perunggu seakan memberi ruang diri untuk berefleksi kepada sang pencipta. Penggalan lirik yang megah nan padu dengan harmonisasi indah dari ketiga personil berhasil menutup dengan manis album debut mereka, Memorandum.

Sebelas lagu yang diramu atas dasar alasan klise nan sederhana, yakni “cinta”. Kecintaan Perunggu terhadap musik lebih besar ketimbang padatnya jadwal ngantor dan berbagai deadline yang terus menumpuk. Lantas dengan hadirnya Memorandum, stigma kehidupan pekerja kantoran yang sulit untuk mengekspresikan diri, sebab hari-harinya selalu terkungkung dalam belenggu kubistis (baca:kantor) berhasil mereka patahkan. Pun julukan “band rock pulang kantor” yang melekat dengan Perunggu, akan terus menjadi frasa yang paling cocok disematkan kepada trio bapak-bapak ini.

Meminjam lirik mereka, “Ambil nafasmu sekarang, Berdiam bukan berarti tenggelam, Matikan yang mengalihkan, Buang semua perlahan dan tenang”. (Per Hari Ini)

Salam!

--

--

No responses yet