Menghayati Pagi dari Sudut Taman Balekambang

Dhiazwara Yusuf
2 min readJan 29, 2023

--

Tawangmangu, 29 Okt 2022

LELAKI paruh baya itu sontak terbangun dari haribaannya. Wajah sumringah terpancar. Kumis hitam pekat bak endapan kopi. Dahinya agak mengernyit. Senyum lebar pun tak lupa. Seraya menyambut hangat kedatangan saya, “Mampir mas” ujarnya. Klise.

Nafas yang terisak tak mampu berkelit. Idealisme diri untuk berhemat pun runtuh. Tanpa sadar saya sudah terduduk di pangkuan bangku kedai. Tak basa-basi, es jeruk menjadi satu pilihan terbaik tatkala itu.

Kembali ke lelaki di awal. Lelaki tersebut nampak masih berjibaku menarik pengunjung untuk sekadar beristirahat. Dirinya mondar-mandir di hadapan saya. Sempat sesekali tersenyum.

Sampai pada akhirnya ia terduduk di depan kursi kasir. Berjarak sekitar 2 meter dari tempat saya. Kakinya di silang ala lelaki metrosexual. Dibakar pula kretek, yang asapnya menyembul hingga ke atap.

Ramai mulai mereda. Hening. Udara dingin khas Tawangmangu merangsek masuk dari pintu kedai. Mengisi seluruh ruang bangunan petak berukuran 4×7m.

“Sudah buka dari jam berapa pak?,” ucap saya memecah sunyi.

Lelaki itu terkejut. Matanya tajam mengarah ke saya. Musabab nada bicara saya yang terlalu tinggi.

“Oh iya mas, saya biasa buka sama istri kalo hari minggu dari jam 5 pagi, kalo hari yang lain buka jam 7,” ujar lelaki tersebut sembari menjauhkan asap rokok dari saya.

Obrolan terus berlanjut. Dari jam buka hingga asal usul nama kedai kami bahas. Akan tetapi, tanpa sempat saya bertanya nama, lelaki tersebut segera bertolak ke tempat lain. Ia berpamitan dan bergegas pergi meninggalkan kedai dengan memacu gas motornya. Tak lupa ia menitipkan kedai pada sang istri. Agak rancu memang, setelah lama bercakap namun belum sempat bertukar nama.

Suasana masih nikmat. Sayang rasanya apabila cepat-cepat kembali ke penginapan. Tak dinyana kondisi perut turut mendukung suasana hangat tersebut. Satu porsi mie instan pun saya pesan.

Lima belas menit saya menunggu, sembari memantau linimasa sekitar. Sampai pada akhirnya, terlihat dari arah dapur seorang wanita membawa semangkuk mie tak lupa dengan telur setengah matang. Lengkap sudah. Indah nan syahdu.

Rasa-rasanya hampir tak pernah saya dapat menikmati sepi dan menghayati sunyi seperti saat singgah di kedai ini. Kedai Sari Rasa. Sudut dari taman Balekambang. Sekitar 20 meter dari gerbang masuk selatan ke arah Grojogan Sewu. Terlihat deretan kedai berjejer, Sari Rasa di urutan ketiga. Tempatnya yang pas (tak terlalu luas maupun sempit) menciptakan suasana yang lebih hangat dan intim.

Saking khusyuknya, tak terasa jam dinding kedai menunjuk tepat pukul 10. Yang berarti sudah waktunya saya beranjak. Tak lupa membayar tagihan makan dan kembali menuju penginapan.

Sudah cukup menikmati sepi dan sunyi. Menghayati hiruk pikuk pagi hari. Bergumul dengan para pedagang. Pun memori dan kehangatan dari Kedai Sari Rasa akan terus terkenang di dalam kening. Rahayu

*Jurnalisme sastrawi MARKA 2022

--

--

No responses yet